Bahasa etika sangat lajim dikenal di dunia pendidikan dan dunia birokrat (pemerintahan). Jika lingkungan masyarakat baik dalam keluarga atau masyarakat secara luas bahasa etika diterjemahkan dengan sopan santun. Etika baik dikalangan pendidikan atau birokrat diartikan “sikap” dari seseorang dalam berprilaku, baik sesame teman, kepada yang lebih tua, apalagi kepada dosen (guru) dan atau kepada atasan. Dalam lingkungan keluarga etika semakin nyata dalam setiap detak jantung kehidupan baik dalam bersapa, dalam bekerja antara ayah, ibu dan anak-anak sesuai usianya.
Selain dari sikap seseorang , terjemahan etika dimaksud adalah berbahasa, yakni bahasa-bahasa yang pantas kepada seseorang dengan anggotanya atau sesamanya, apalagi kepada sang guru (dosen), orang yang lebih tua, termasuk kepada atasan seseorang jika ia bekerja di suatu lembaga (birokrat, perguruan atau perusahaan. Sayangnya pandangan seseorang terhadap orang lain dalam beretika, sudah tentu berbeda, apalagi sesama sahabat, sehingga pengertian etika antara seorang dengan orang lain berbeda, dapat diketahui dari sudut pandang yang mana.
Pengertian etika, berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang artinya Susila. Dr. H. Agus Suradika, M.Pd dalam bukunya (Etika Profesi Pekerjaan Sosial, 2005) menjelaskan bahwa etika merupakan pedoman yang mengarahkan secara konkrit Tindakan yang dilakukan manusia. Tindakan atau lebih tepatnya tingkah laku manusia, selalu mempunyai dasar normatifnya. Suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk dinilai dari nilai-nilai etis yang hidup di masyarakat. Etika tidak mempersoalkan bagaimana keadaan manusia, melainkan bagaimana manusia harus berprilaku atau bertindak.
Etika dalam kehidupan sehari-hari akan terlihat ketika ada suatu pesta dari pernikahan. Ketika pasangan pengantin akan didudukkan dalam suatu pelaminan (sesuai perkembangan zaman saat ini), maka pasangan pengantin berdiri didepan, diikuti kedua orang tua pengantin, adik atau abang dan kakak, serta menyusul kaum kerabat. Para tamu dan undangan sebagai pengormatan kepada pasangan pengantin dan keluarga, diminta berdiri dalam penyambutannya. Inilah salah satu bentuk contoh etika yang dilihat dalam sebuah pesta pernikahan (perkawinan).
Demikian juga dengan etika ketika makan bersama, umunya orang yang lebih tua didahulukan, sedang yang muda menunggu yang lebih tua menyiapkan makanannya, termsuk dalam penempatan tempat duduk (misalnya makan berhidang) atau ketika makan bersama dengan duduk bersila.
Etika secara filosofi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara telah ditentukan oleh bapak pendidikan di Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara dengan bahasa Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. “Ing Ngarso Sung Tulodho” artinya jika didepan (orang tua, guru, pimpinan) memberi suri tauladan, “Ing Madyo Mangun Karso” artinya jika kita berada ditengah (orang tua, guru, pimpinan) diharapkan dapat memberikan semangat, “Tut Wuri Handayani”artinya jika kita berada di belakang (orang tua, guru, pimpinan) dapat memberikan motivasi atau dorongan kepada orang-orang yang ada didepannya (Silabus.web.id)
Etika memberikan koreksi dalam memikirkan berbagai norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dengan manusia lainnya. Masyarakat jadi mempunyai ukuran objektif maupun subjektif mengenai bagaimana seharusnya bertingkah laku dengan mengetahui mana hak dan tanggung jawab. Jadi, etika merupakan bahagian dari filsafat yang menelaah tentang praktis atau Tindakan sehingga disebut juga dengan praksiologi. Hal ini yang membedakan etika dan cabang filsafat lainnya seperti ilmu ekonomi, sosiologi dan sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai berikut :
- Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban.
- Kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
- Nilai mengenal benar dan salah yang dianut satu golongan atau masyarakat.
Etika berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika yaitu untuk mengkaji sistem nilai yang berlaku dengan istilah lain identic dengan usila (sansekerta), lebih menunjukkan dasar-dasar, prinsip, atauran hidup (sila) yang lebih baik (SU).
Makna etika difahami dalam dua bentuk arti, yakni :
- Etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia.
- Merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan atau manusia lain. ( Dr. Mukhtar Latif, M.Pd, 2014)
Bagaimana dengan moral…? Banyak juga masyarakat yang mengartikan etika sama dengan moral. Namun penulis belum sepaham jika etika disamakan dengan moral. Karena moral biasanya menyangkut prilaku manusia yang bertentangan dengan ajaran agama (akhlak). Misalnya seseorang melakukan sesuatu Tindakan yang tidak pantas dilakukan seseorang manusia dengan manusia lainnya yang dilarang ajaran agama. Maka orang lain (masyarakat) menjelaskan si A, tidak bermoral. Artinya disini moral merupakan suatu ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan atau prilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Moral menurut bahasa latin adalah “mos” dan dalam bentuk jamaknya “mous” berarti adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan) dan menghindari tindakan-tindakan yang buruk. Moral adalah salah satu norma yang hidup ditengah – tengah masyarakat seperti norma agama, norma sosial dan norma hukum. Norma moral menentukan prilaku seseorang baik atau buruk dari segi etis. Norma moral yaitu norma tertinggi yang tidak dapat dikalahkan untuk kepentingan norma lain.
Norma moral bersifat objektif dan universal. Norma moral hendaknya mampu mengajak manusia untuk menjunjung tinggi martabat sesamanya. Norma moral bersifat ya atau tidak, atau boleh dan tidak boleh. Ketegasan terhadap norma moral menyebabkan seseorang memiliki ketetapan hati yang kuat, tidak mudah menyerah kepada perbuatan amoral. (Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd, 2014).
Sebenarnya, bahasa moral ditinjau dari bahasa filsafat telah menjadi perhatian para filsof zaman abad pertengahan, karena erat kaitannya dengan ajaran agama. Moral atau moralitas semakin gencar dibahas masa filsof abad modern, karena masa ini persoalan moral dipandang sebagai persoalan duniawi, terkait kebutuhan hidup kini dan lain sebagainya.
Kelemahan pemikiran moralitas modern yaitu tidak adanya kepentingan moral, tidak jelasnya standar moral atau kaburnya nilai-nilai moral. Konsekwensi dari dua pendekatan tersebut maka persoalan moral menjadi bersifat relativistik. Baik dan buruknya menjadi sangat tergantung pada berbagai faktor seperti tergantung pada konteksnya, situasinya, latar belakangnya, pertimbangan yang digunakan bahkan tidak heran jika tergantung pada masing-masing individu.
Masalah moral tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan, karena baik dan buruknya sebuah ilmu sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral para penggunanya. Sebuah ilmu bisa menjadi malapeta kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkan-nya tidak bermoral atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada, sebaliknya ilmu menjadi rahmad bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat dengan mengindahkan aspek-aspek moral. Jadi pada dasarnya masalah moral tidak bisa terlepas dari tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran, apalagi dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya, maka seorang ilmuan harus memiliki landandasan moral yang kuat, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan, dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu (Muktar Latif, 2014).
Dari apa yang dikemukakan Prof. Dr. Muktar Latif, M.Pd bisa terlihat banyak kebenarannya. Mari kita lihat contoh yang terjadi dewasa ini. Kecenderungan bencana alam berupa tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi, ketika ditelusuri lebih seksama tidak terlepas dari penggundulan hutan / penebangan secara liar. Padahal kita mengetahui setiap daerah ketinggian untuk mencegah kelongsoran dan penyerapan air dimusim hujan memerlukan perlindungan hutan. Tapi prakteknya masih banyak manusia yang tidak mengindahkan ini. Inilah yang disebut moral seseorang, moral seorang pemimpin, moral penguasa, dan lain-lain.
Contoh lain, ditengah kemajuan arus informasi dan teknologi saat ini, cukup banyak para mereka-mereka yang memakai pengetahuan teknologi (IT) dan dengan teknologi ini banyak berita-berita hoaks yang beredar, dan berdampak kepada gangguan-gangguan keamanan dan stabilitas. Berita-berita hoaks juga juga membangun opini – jiwa persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti peristiwa Papua dewasa ini, berbagai issu-issu yang tidak benar disampaikan mereka yang memiliki ilmu, tetapi tidak mengedepankan moral yang baik. Akibatnya sejumlah suku, yang termakan issu bahwa pemerintah tidak berbuat untuk daerahnya, sehingga muncul gerakan-gerakan tidak percaya kepada pemerintah dan akhirnya menjadi gerakan sparatis, istilah TNI/Polri “Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)” yang mengganggu jalannya pembangunan di Indonesia.
Jadi, berbicara moral bisa tidak berakhir, jika kita mau lebih mendalami prilaku manusia, tinggal dari sudut pandang mana kita berpijak. Apalagi jika kita berbicara kekuasaan, apakah kekuasaan di pemerintahan, atau kekuasaan di politik atau kekuasaan terendah, yakni sebagai kepala desa. Maka dalam kaitan kekuasaan, para pemegang kekuasaan bisa mendadak berubah prilakunya (moral) nya. Misalnya dampak dari kekalahan dari perebutan kekuasaan kepala negara,kekalahannya tidak diakui, dan membuat perlawanan, sampai secara per Undang Undangan mengambil alih atas kebenaran.
Contohya pemilihan Presiden Amerika Serikat yang berlangsung 3 November 2020 yang lalu, incumbent yang ikut menjadi calon tidak mengakui kekalahan, dan melempar issu bahwa pemenang menyalahi aturan, dan dampaknya pelantikan Presiden terpilih – Presiden yang sebelumnya tidak hadir. Apakah ini bukan menunjukkan bahwa karena kekuasaan moral seseorang bisa berubah?
Jadi, moral dan moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasehat-nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.
Moralitas adalah tradisi, kepercayaan dalam agama atau kebudayaan, tentang prilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari prilaku-prilaku yang tidak baik. (Burhanuddin Salam, 1997)
Bagi penulis, khususnya kita rakyat Indonesia, maka moral yang baik itu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, ya moral sesuai dengan sila-sila dari Pancasila. Jelas bahwa nilai moral yang terkandung didalamnya disamping adanya nsur agama, juga nilai-nilai budaya yang telah ada sejak ribuan tahun lalu.
Dikalangan pekerja sosial, etika dan moral merupakan prilaku yang melekat dalam profesinya sebagai pekerja sosial. Mengapa tidak, karena seseorang yang berprofesi sebagai pekerja sosial akan hidup berdampingan dengan orang-orang yang perlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS). Para PPKS dengan keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan ekonomi, sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada padanya memerlukan motivasi dari seorang pekerja sosial agar keterbatsan para PPKS dapat diperbaiki yang akhirnya ia mampu melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya.
Contoh kasus, saat ini ditengah kemajuan pembangunan, ditengah kemajuan teknologi dan komunikasi, semakin baiknya infrastruktur dari perkotaan hingga pedesaan, namun semakin marak juga tingkat kemiskinan dengan masih terlihatnya gelandangan dan pengemis, khususnya kaum lanjut usia dan anak remaja atau anak-anak dibawah umur.
Secara kasat mata untuk kemiskinan yang terlihat jelas adalah di perkotaan, kita melihat secara jelas gelandangan dan pengemis di setiap persimpangan jalan, dan khusus anak-anak dibawah umur dengan pakaian seadanya merubah setiap rumah makan atau café-café yang menjamur berkembang di perkotaan. Dari aspek profesi, inilah yang menjadi tanggung jawab para pekerja sosial, yang membutuhkan panggilan jiwa sebagai seorang yang berprofesi sebagai pekerja sosial untuk mengatasi PPKS ini. Inilah yang penulis maksud bahwa etika dan moral sangat melekat dikehidupan sehari-hari dari seorang yang berprofesi pekerja sosial.
Oleh Mukhtar Latif (2014) menjelaskan bahwa makna etika terbagi dua, yaitu etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai perilaku terhadap perbuatan manusia. Etika merupakan predukat yang dipakai untuk membedakan hal-hal perbuatan oleh manusia lain. Objek formal etika meliputi norma kesusilaan manusia dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya.