Di Indonesia, belajar filsafat diperkenalkan di dunia perguruan tinggi memasuki tahun 1960 an. Umumnya para mahasiswa memasuki fase pembelajaran filsafat akan bingung. Karena pertama sekali diperkenalkan mata kuliah filsafat dalam perkuliahan untuk mahasiswa di perguruan tinggi. Para mahasiswa dituntut untuk erfikir, berfikir dan terus berfikir. Mengapa para mahasiswa terus berfikir..? karena hasil karya dari apa yang dihasilkan oleh filafat tidak terlihat bukti nyata, pada saat proses pembelajaran, memerlukan waktu yang sangat berkepanjangan untuk melihat hasilnya.
Jadi lebih mudah belajar sains (ilmu pengetahuan biologi) misalnya, yaitu ketika ada ayam betina dan ayam jantan melakukan perkawinan, atas buah perkawinan pada waktunya ayam betina bertelur. Jika dalam 21 hari telur dieramiidukya (ayam betina) maka telur menetas menjadi anak ayam. Contoh lain belajar sains (ilmu pengetahuan botani) bahwa sebuah pohon pepaya, ketika besar berbuah pepaya dan pada saatnya pepaya masak, ditemukan biji-biji pepaya. Ketika biji-biji pepaya kita tanam ditanah yang baik, pada saatnya tumbuh pohon pepaya, yang sewaktu besar pepaya aka membuahkan buah pepaya.
Kedua contoh ini enak dipelajari, tanpa banyak kitaberfikir, dan pada waktunya dapat terlihat hasil secara jelas, walau harus melalui sebuah proses alam dalam kehidupan buah pepaya. Berbeda dengan pengetahuan filsafat, kita dituntut untuk belajar cermat, belajar berfikir jernih, penuh logika, dan hasilnya sangat memerlukan waktu. Inilah yang pernah penulis alami, ketika pertama sekali menduduki bangku kuliah di perguruan tinggi, tepatnya pada fakultas keguruan dan ilmu sosial pada jurusan Civic Hukum di Institut Keguruab dan Ilmu Pendidikan Medan.
Penulis memulai belajar filsafat, pada masa itu mata kuliah filsafat Pancasila yang diajarkan oleh Prof. Rajamin Bangun. Dalam kuliah Filsafat Pancasila dijelaskan, bahwa lahirkan Pancasila dengan sila-sila yang ada saat ini merupakan akal budi bangsa yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Akal budi manusia Indonesia telah tumbuh dan berkembang menjadi budaya kehidupan bangsa, yang telah turun temurun, sehingga pada saat menuju persiapan kemerdekaan Indonesia, dan akhirnya pada persiapan kemerdekaan Indonesia oleh panitia, para pendiri negara merumuskan sila-sila dari Pancasila, yaitu :
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Kemanusiaan Yang Adil Dan Berdab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
- Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima sila-sila dari Pancasila itulah yang akhirnya satu hari setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, dan ditetapkan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila-sila dari Pancasila memiliki fungsi perekat bangsa yang berbeda agama, suku dan budaya serta tempat tinggal, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya dianggap paling adil, paling bijaksana, paling tepat, mengakar dari kepribadian bangsa sehingga dijadikan filsafat hidup bangsa Indonesia dan dasar negara dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sayangnya dalam perjalanan membangun Bangsa sejumlah politisi, tokoh-tokoh terkemuka yang pada jamannya pernah memimpin di pemerintahan secara pandangan etika dan moral mengalami pergeseran dan berakibat banyaknya gangguan-gangguan dalam kehidupan dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara karana nilai-nilai dasar Negara (Pancasila) hanya menjadi buah bibir belaka.
Dalam kaitan sains Prof. Dr. Ahmad Tapsir dalam bukunya filsafat umum akal dan hati sejak Thales sampai Capra (2016) menjelaskan sebuah contoh pengetahuan sains bahwa jeruk ditanam buahnya jeruk. Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian tidak dapat lagi dilakukan pada objek yang empiris, karena subjek itu tidak ada pada bibit dan pohon jeruk. Akan tetapi kita ingin tahu jawabannya. Kita berfikir, inilah jalan yang dapat ditempuh. Yang difikirkan memang jeruk,tetapi bukan jeruka yang empiris (sebuah pengetahuan pengalaman manusia).
Bila difikir secara sains, muncul jawaban jeruk selalu berbuah jeruk, karena ada suatu aturan atau hukum yang mengatur agar jeruk berbuah jeruk. Para ahli menyebut hukum itu empiris, tetapi akal mengatakan hukum itu ada. Jeruk berbuah jeruk karena ada aturan yang mengaturnya demikian. Ini adalah pengetahuan filsafat. Kebenarannya di pertanggung jawabkan secara logis, tidak empiris.
Dari tiga contoh yang penulis ungkapkan tentang lebih mudah mempelajari sains daripada filsafat, maka akan lahir pertanyaan lain yaitu, apakah pohon papaya bisa tumbuh jika yang ditanam batangnya?, bagaimana dengan pohon jeruk, apakah batang pohon jeruk bisa ditanam dan tumbuh berkembang menjadi pohon jeruk yang menghasilkan jeruk?. Lagi-lagi pertanyaan kritis ini apakah dapat djawab secara gambling? Tentu jawabannya kita serahkan kepada mereka-mereka yang ahli botani, karena dalam ilmu botani melalui cara vegetative buatan bahwa baik batang jeruk maupun batang pohon papaya dapat diperbanyak menjadi pohon-pohon jeruk dan papaya melalui vegetative buatan seperti cangkok, stek, okulasi selama 3-4 minggu yang ditandai dengan munculnya tunas-tunas baru. (Cybexpertanian.go.id, 9 November 2019, Balai Penyuluh Pertanian).
Jadi belajar berfilsafat sebelumnya mempunyai manfaat yang praktis yang cukup luas dan berjangka Panjang walaupun sering di uangkapkan filsafat sering kali dinyatakan terlalu abstrak, mengawang atau tidak membumi. Perhatikan saja banyak sekali pemikiran filsafat yang awalnya dianggap sebagai abstrak atau tanpa manfaat praktis, dalam perkembangan berikutnya ternyata memberikan manfaat praktis yang luar biasa. Umpamanya adalah teori atom Demokratos dan Leocippas, sekarang bisa diwujudkan dalam bentuk energi atom/nuklir yang luar biasa.
Jadi tidak semua anak bangsa mendapat kesempatan belajar filsafat, dan tidak semua pula anak bangasa untuk berfilsafat baik dalam proses dalam pembelajaran atau dalam menata kehidupan sehari-hari.
Tapi ada yang sangat menarik seorang Presiden Republik Indonesia yakni Ir. Joko Widodo ketika pada kesempatan wawancara SCTV 25 Mei 2019 mengungkapkan 3 (tiga) falsafah jawa yang menjadi pegangannya baik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari maupun saat memerintah Negara Republik Indonesia.
Ketiga falsafah jawa itu yaitu, Pertama : Lamun Sira Sekti, Ojo Mateni artinya meskipun kamu sakti, jangan sekali-sekali menjatuhkan. Kedua : Lamun Siro Banter, Ojo Ndisiki artinya : meskipun kamu cepat jangan selalu mendahului. Ketiga : Lamun Sira Pinter, Ojo Minteri, artinya : Meskipun kamu pintar jangan sok pintar (Media Indonesia.com, 25 Mei 2019)
Namun demikian harus disadari bahwa filsafat bukan saingan ilmu pengetahuan (misalnya dalam segi memberi manfaat praktis), sebab antara keduanya ada beda fokus. Filsafat misalnya lebih focus kepada pembahasan konsep-konsep dan asumsi dasar teori, sehingga lebih mengandalkan rasio (spekulatif) dan bukan melakukan tentang penelitian fenomena alam sebagaimana yang dilakukan para ilmuan pada ilmu pengetahuan. (Dr. Akhyar Yusuf Lubis, 2016).
Ternyata pesan-pesan bijak dan agung para leluhur suku jawa yang diunggah Presiden RI Indonesia Ir. H. Joko Widodo melalui twiter, facebook dan instagram, 20 Juli 2019 mendapat banyak perhatian para politisi dan aktivis di Indonesia.
Melalui forum symposium peneliti Jokowi II dengan Tema : Refleksi Fenomena Politik Jokowi di Auditorium Perpustakaan Nasional Jakarta pada Kamis, 25 Juli 2019 falsafah Jokowi dibahas dan dihadiri pengamat politik Andi Zulkarnain, Fahri Ali, pemimpin redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli selaku moderator, DR. Siti Ruhaini Denhayati, MA staf khusus presiden serta inisiator pertemuan drg. Arief Rasyid, MKM.
Pada simposium tersebut Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan RI, Eko Sulistiyo (Periode 2014 s/d 2019) menjelaskan bahwa banyak yang memberi penafsiran terhadap falsafah Jokowi ketika Presiden mengunggah, itu sah-sah saja. Seperti “lamun sira sakti, ojo mateni” merupakan salah satu moral kepemimpinan meskipun punya kekuasaan dan jadi kuat, tetapi jangan semena-mena. Kekuasaan itu tidak dipakai untuk semena-mena, tidak absolut dan harus tetap bermoral. Tentang gambar tokoh wayang Gatot Kaca yang sedang memberi padi kepada petani didalam unggahan tersebut menjelaskan bahwa pemimpin harus bisa memahami dan mendengar rakyat.
Jadi belajar filsafat tidak terlepas dari etika dan moral, karena jika filsafat yang dilahirkan seseorang dan ditafsirkan tidak baik akan tidak baik hasilnya, apalagi yang berhubungan dalam membangun bangsa, memerlukan banyak hal yang harus difikirkan karena menyangkut nilai-nilai budaya itu sendiri.
Parapat Gultom, Ph.D menegaskan bahwa belajar filsafat, sifatnya hakiki, artinya terkandung nilai mendasar, artinya berhubungan dengan nilai-nilai moral sebagai penuntun di masyarakat dan mengatur norma-norma kemanusiaan, artinya mengatur tingkah laku agar tidak menimbulkan benturan kepentingan yang mengarah pada perpecahan.
Belajar filsafat merupakan salah satu bentuk Latihan untuk memperoleh kemampuan berfikir serius. Kemampuan ini akan memebrikan kemanfaatan memecahkan masalah-masalah serius, menemukan akar persoalan yang mendalam, menemukan sebab terakhir penampakan (Akhmad Tapsir, 2002).
Belajar filsafat, pertama dapat membantu memperluas pandangan calon sarjana untuk melihat diluar tambah ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Kedua, filsafat apat membantu agar mahasiswa belajar berfikir kritis dan menganalisis segala masalah yang timbul secara tajam. Ketiga, filsafat mempermudah bagi calon sarjana untuk mengungkapkan pemikirannya dengan jelas dan tepat. Keempat, filsafat dari beberapa segi lebih mendalami dunia dimana kita hidup. Kelima, filsafat pada khususnya dapat menanamkan kesadaran etis dalam jiwa calon sarjana.
Jadi secara teoritis filsafat mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia, sehingga pada gilirannya kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik teori-teori yang yang terdapat dalam ilmu tentang manusia. Secara praktis filsafat bukan saja berguna untuk mengetahui tentang apa dan siapa manusia secara menyeluruh, melainkan mengetahui juga tentang siapa diri kita dalam pemahaman tentang manusia.