Diatas telah penulis ungkapkan bahwa “filsafat” adalah berfikir untuk mempelajari dan mendalami sesuatu yang belum atau sedang difikirkan serta belum dikaji oleh ilmu pengetahuan (karena belum terlihat hasilnya) untuk mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan. Bagaimana pula dengan pengertian filsafat sosial..?
Kata sosial jika kita hidup bermasyarakat maka hidup bermasyarakat itu sering disebut sosial, atau jika ada kumpulan manusia lebih dari beberapa orang sering juga disebut sosial. Ada lagi yang lebih menarik, ketika kita mengumpulkan berbagai sumbangan juga masuk kategori sosial.
Dalam hal kata sosial Diana Conyers (1994) menjelaskan bahwa kata sosial memiliki pengertian yang berbeda-beda dan digunakan secara luas. Kata sosial dapat dikelompokan dalam 5 (lima) kategori pokok, yaitu :
- Kata sosial merupakan pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari, dan kata sosial dihubungkan dengan hiburan atau sesuatu yang menyenangkan.
- Kata sosial yaitu sebagai lawan kata individual, yang cenderung kearah pengertian kelompok orang yang berkonotasi masyarakat (society) dan warga (community).
- Kata sosial dipergunakan kepada yang lebih umum yaitu melibatkan manusia sebagai lawan dari benda.
- Kata sosial sebagai lawan dari ekonomi.
- Kata sosial menyarankan sesuatu yang non moneter, sifatnya sesuatu yang tidak menunjang secara langsung kepada produksi, tetapi secara khusus bertalian dengan kehidupan insani pada umumnya.
Dari berbagai uraian tentang kata sosial, maka filsafat sosial dapat diartikan sebagai filsafat yang mempelajari dan mendalami tentang manusia, baik sebagai individu atau kelompok di masyarakat. Filsafat sosial adalah sesuatu yang dapat menyelidiki berbagai bidang dalam masyarakat, maka kita dihadapkan pada kenyataan bahwa manusia hidup bersama dengan sesama manusia, bahwa mereka secara bersama-sama menimbulkan keadaan hidup material dan rohaniah yang sebaliknya memberi pengaruh kepada mereka.
Filsafat sosial mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan filosofi tentang isu-isu sosial dan prilaku sosial. Filsafat sosial adalah teori kontrak sosial, kritik, kebudayaan dan individualism. Filsafat sosial menangani issu-issu yang lebih informal seperti struktur sosial, dari kelompok yang dibentuk secara sukarela, kekuatan sosial, dan lain-lain. Jadi filsafat sosial tidak melulu dipenuhi oleh penjelasan – penjelasan tentang masyarakat, tetapi juga penjelasan tentang bagaimana mengubah masyarakat yang hidupnya tidak layak dari aspek kemanusiaan dalam kaitan kebutuhan dasar hidup seperti sandang pangan dan papan dapat diperpaiki. Tidak mengherankan jika salah satu dari sifat filsafat sosial adalah “pemberontakan”. (M. Taufiq Rahman, Ph.D, 2018, Pengantar Filsafat Sosial, Penerbit LeKKas, Bandung).
Filsafat sosial adalah filsafat tentang hubungan manusia dalam masyarakat. Filsafat sosial mencoba untuk menemukan fakta apa yang benar atau baik untuk seseorang atau masyarakat. Filsafat sosial bersifat normatif, artinya mempelajari prinsip-prinsip yang ditemukan dalam masyarakat, dan membuat kita menyadari prinsip-prinsip tersebut melalui institusi, keluarga, negara, danlain-lain. Filsafat sosial bersifat evaluatif, artinya yang mengevaluasi kebiasaan yang dipegang atau dianggap baik oleh masyarakat, serta merumuskan peraturan yang ideal dalam interaksi sosial untuk diterapkan sebagai pedoman untuk kehidupan sosial yang lebih baik.
Filsafat sosial bersifat spekulatif, artinya diatas prinsip-prinsip dasar dari prilaku manusia, nilai tertinggi dari kehidupan manusia dan maksud dari seluruh keberadaan manusia serta mencoba untuk mengerti berbagai pola perubahan dan kecenderungan masyarakat. Filsafat sosial bersifat konstruktif, artinya memberikan pandangan terhadap kecenderungan manusia yang dengan pelatihan yang baik dapat mengangkat kehidupan sosial, juga memberikan solusi terhadap kecenderungan prilaku yang merugikan dalam kelompok sosial. (Ehsan Ibnus salam, academica.edu, tulisan Selayang pandang filsafat sosial).
Dari kedua pandangan ilmuwan diatas tentang filsasat sosial maka penulis akan menurunkan berbagai pemikiran dari seorang kepala Negara, Gubernur dan filosofi social yang dikembangkannya sebagai berikut :
- Hati Nurani
Sebagai seorang kepala Negara (Presiden RI) Ir. H. joko Widodo, merupakan filsuf sosial sekaligus sebagai seorang pelaku dari filosofinya itu. Mengapa tidak, kehadirannya dari Solo masuk ke kota Jakarta dengan menemui masyarakat lapisan bawah, masuk gang keluar gang dan masuk parit dan keluar parit menjadi perhatian jutaan manusia di Jakarta baik kalangan ilmuwan, politisi maupun masyarakat lainnya dengan bahasa sebutan “blusukan”.
Secara etimologi blusukan berasal dari bahasa jawa yakni kata dasar “blusuk”, artinya masuk dan akhiran “an” (afiks verba) yang berarti masuk-masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu. Dalam bahasa Jawa blusukan merupakan verba, seperti dolanan, bermain dan lain-lain (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud.go.id, 2-6-2015).
Jika kita tinjau dari sudut ilmu komunikasi, blusukan diartikan mendekatkan diri dengan masyarakat dan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat. Karena filsafat sosial tidak semata-mata membahas masyarakat tetapi juga merubah masyarakat sebagaimana yang diungkapkan M. Taufiq Rahman, Ph.D, (2018).
Maka blusukan merupakan filsafat hati nurani dari penilaian moral dan akal budi yang bersifat sosial dan dijalankan oleh Presiden RI Ir. H. Joko Widodo untuk mendekatkan diri dengan masyarakat sekaligus untuk merubah cara berpikir masyarakat sehingga ia mendapat kepercayaan masyarakat menjadi gubernur DKI tahun 2009, sekaligus mendapat kepercayaan masyarakat Indonesia menjadi Presiden RI sejak tahun 2014 s/d 2019 dan 2019 s/d 2024.
Kini filsafat hati nurani dengan kegiatan blusukan yang diterapkan oleh Presiden RI Ir. H. Joko Widodo banyak ditiru para calon dan para pemimpin bangsa atau pemimpin masyarakat dalam mengunjungi masyarakatnya dan dalam rangka membangun komunikasi sosial untuk mencari simpati masyarakat sekaligus lebih mengenal masyarakatnya di pelosokan daerah. Jadi tidak heran apabila karya besar Presiden RI Joko Widodo membangun infrasuktur di daerah masyarakat tertinggal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia tidak terlepas dari filosofi hati nurani dengan gaya blusukan karena keinginannya membangun kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yakni, …………….. memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa ………….. serta masyarakat yang adil dan makmur.
Sihingga tidak heran jika presiden RI H. Joko Widodo memiliki filosofi yang menjadi pegangan hidupnya sekaligus sebagai pedoman dalam melaksanakan pemerintahannya yaitu :
Lumun Siro Sekti Ojo Mateni, artinya meskipun karna sakti jangan suka menjatuhkan, Lamun Siro Banter Ojo Ndhisiki, artinya meskipun kamu cepat jangan suka mendahului. Dan Lamun Siro Pinter Ojo Minteri, artinyan meskipun kamu pintar jangan sok pintar. (Roy Jordan, detik news, 26 Mei 2019)
Ketiga filosofi presiden RI H. Joko Widodo ini jika kita mau merenungi dan memikirkannya lebih mendalam yakni Lumun Siro Sekti Ojo Mateni juga mengandung arti bahwa sesorang yang memiliki kekuasaan tidak harus berbuat semena-mena kepada orang lain walau orang tersebut melakukan kealfaannya tapi penyelesaiannya melalui sebuah proses susuai peraturan perundang-undangan sehingga ditemukan sebuah keadilan
Demikian juga halnya dengan lamu Siro Banter Ojo Ndhisiki mengandung arti bahwa dalam sebuah keputusan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan kemanusiaan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga keputusan yang diambil seuai dengan keadilan dan kesejahteraan dan Lamun Siro Pinter Ojo Minteri artinya pengetahuan pemahaman dan kekuasaan yang kita miliki dalam mengambil sebuahkeputusan tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sekali-sekali mengambil keputusan yang bertentangan dengan perundang-undangan, adat istiadat, agama, budaya, sehingga dapat menimbulkan gejolak ditengah masyarakat.
Jika ketiga filosofi yang diungkapkan H. Joko Widodo bisa kita pahami maka sifat-sifat yang bertentangan dengan hukum, bertentangan dengan nilai-nilai budaya, agama, nilai etika dan moral akan kita hindari sehingga tidak ditemukan ceritra adu domba, hoax dan aktivitas lain yang dapat memicu gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pemikiran lain dari pemikiran Presiden RI Joko Widodo ketika berkembangnya Corona Virus Desease 2019 (Covid 19) diungkapkan hidup berdampingan dengan covid 19.
Ungkapan ini berawal sejak 1 Maret 2020, Indonesia tertimpa musibah dengan berkembangnya penyebaran Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) yang sangat mematikan bersamaan dengan negara-negara Eropa dan Asia. Berbagai kebijakan diambil oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat agar tidak terinfeksi Covid-19, seperti pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dengan Keputusan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2020 tertanggal 20 Maret 2020, melalui sinergi antar kementerian / lembaga dan pemerintah daerah.
Namun dampak penyebaran Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) telah membawa dampak sosial, ekonomi, keehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, melalui Keputusan Presiden RI ditetapkan penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional. Tingkat kementerian / lembaga mengambil kebijakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk melindungi masyarakat Indonesia dari terkena Infeksi Covid-19, seperti Menteri Keuangan RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI, dan kementerian lainnya, termasuk Gubernur, Bupati dan Walikota se Indonesia saling bekerjasama untuk mengatasinya.
Corona virus desease 2019 (Covid-19) terus berkepanjangan, Langkah yang ditempuh pemerintah mengatasinya belum berakhir, angka kematian dan terinfeksi terus bertambah dan berbagai perusahaan melakukan pemberhentian sejumlah tenaga kerja, hingg dampak sosial dan ekonomi, Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat semakin terganggu. Akhirnya pada tanggal 7 Mei 2020, Presiden RI Ir. H. Joko Widodo menyatakan bahwa warga negara Indonesia untuk hidup berdampingan dengan Covid-19, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, dan kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu kedepan.
Bahasa berdampingan dengan Covid-19, merupakan bahasa filosofi yang disampaikan oleh Presiden RI berarti aktivitas pemerintahan, perekonomian, dan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara akan terhenti, jika masyarakat ditakuti oeh Covid-19, yang berarti dampak sosial dan ekonomi akan membuat keterpurukan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Dalam kaitan pernyataan Presiden RI Ir. H. Joko Widodo tentang masyarakat Indonesia berdamai dengan Covid-19, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Asep Syaifuddin menilai bahasa Presiden RI ini sangat filosofis dan bermakna dalam. Bila tidak memahami esensinya, seolah-olah rakyat Indonesia disuruh tenang, tidak usah khawatir, dan bisa berprilaku seperti dalam keadaan normal. Prof. Asep Syaifuddin menterjemahkannya sebagai pemhaman yang benar terhadap virus Covid-19, sehingga kita mengetahui sifat virus itu, bagaimana pola penyebarannya, daya tahannya, dan lain-lain.
Pengertian damai adalah memahami (understanding) situasi, agar masyarakat menjadikan Covid-19 sebagai penyngat agar terus berprilaku bersih dan sehat (PHBS), menjaga jarak sosial dan fisik, melakukan penyemprotan desinfektan ditempat tertentu. Lewat berdamai ini juga, Covid-19 mengajari manusia untuk cuci tangan dengan sabun, setidaknya 30 menit sekali. Disinilah Covid-19 telah menyadarkan kita tentang pentingnya kebersihan. Dengan demikian, bila tugas Covid-19 itu selesai, yakni manusia semakin disiplin secara individu dan masyarakat, virus akan hiang dengan sendirinya. Damai itu juga berarti secara jernih kita mengerti bahwa didalam kesulitan itu selalu ada hikmah. Tanpa damai, kita hanya panik dan menyebabkan kehiangan ide dan kreatifitas (jpnn.com, 11 Mei 2020)
Sebenarnya banyak sekali bahsa filosofis yang telah disampaikan Ir. H. Joko Widodo, baik sebagai Walikota Solo, sebagai Gubernur DKI maupun sebagai Presiden Republik Indonesia. Diantara kata-kata yang mengandung filosofis (kata-kata bijak) antara lain “kita tidak ingin ada penurunan kualitas demokrasi kita” , “jangan sampai kita lupa nikmatnya krukunan, karena kita selama ini selalu rukun”, “tanpa perdamaian tidak ada kesejahteraan, tanpa kesejahteraan perdamaian tidak akan lestari” , “perumpamaan berdaya, Indonesia jaya”, “bekerja untuk rakyat adalah kampanye yang baik”, “ kebijakan apapun itu selalu perlu waktu untuk pembelajaran, tapi arahnya jelas” (Arini Saadah, M.dream.co.id, 15 Mei 2020).
Dalam kaitan dengan kesejahteraan sosial, banyak kalangan pemimpin dan masyarakat berpandangan bahwa kemiskinan, keterlantaran, korban bencana alam, termasuk disabilitas adalah beban dari suatu pembangunan, sebenarnya tidak. Bukankah didalam pembukaan UUD 1945 telah dijelaskan bahwa sebuah negara bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum agar masyarakat adil dan Makmur. Jika berpedoman kepada memajukan kesejahteraan umum, masyarakat adil dan Makmur mengandung arti bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab untuk mewujudkannya.
Perwujudan itu hanya dapat dilakukan melalui sebuah mekanisme perencanaan sosial yang baik, dan dimulai dari tingkat pedesaan/kelurahan sehingga masa pemerintahan reformasi dikenal adanya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang dimulai dari tingkat pedesaan. Sayangnya, baik Bappeda sebagai tim pengendali dalam Musrenbang dimaksud, tidak memiliki data yang akurat tentang masalah-masalah sosial, dan sebaliknya permasalahan sosial ditingkat Musrenbang desa sangat minim pembahasan, sehingga konsentrasi mengatasi masalah-masalah sosial melalui sebuah perencanaan sangat lemah.
Tidak heran jika Presiden RI Ir. H. Joko Widodo masa menuju menjadi seorang kepala daerah atau menjadi pemimpin negara melakukan kunjungan dari desa, dusun, bahkan masuk dan melihat drainase (parit) sehingga filosofis yang dilahirkan “blusukan” tidak terlepas untuk mengetahui, memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Bagi penulis, Presiden RI Ir. H. Joko Widodo tidak hanya berfilosofi dengan kata-kata atau berbahasa kepada aparatur pemerintah, atau masyarakat Indonesia dalam berbagai kesempatan. Melainkan, apa yang difikirkannya, apa yang di pakainya untuk membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera dengan perbuatan. Misalkan saja, untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan masyarakat, ia masuk desa keluar desa, masuk gang keluar gang, melihat parit dan masuk selokan, sekaligus berdialog secara sederhana dengan masyarakat bawahan. Prilaku ini disebut orang dengan “blusukan” yang berarti pemikirannya tentang “kalau kita tidak pernah turun kebawah, tidak bersentuhan kulit dengan rakyat”, yang berarti “blusukan” yang dilakoni Joko Widodo, sebagai tindak lanjut dari sebuah filosofis yang ditekuninya.
Sama halnya tentang pembangunan infrastruktur di daerah-daerah tertinggal dan terpencil, seperti di Provinsi Papua, tentu pemikiran Presiden RI Ir. H. Joko Widodo adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan Makmur sesuai pembukaan UUD 1945. Karenanya ia berfilosofis bahwa “pembangunan infrastrukur adalah masalah pemerataan dan keadilan, tanpa infrastruktur, jangan mimpi negara ini bersaing, tak mungkin Indonesia bangsa yang maju, bila infrastruktur tidak memadai.
Untuk itu, kita tidak heran bila Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Dr. Marianus Kladen menyatakan bahwa Presiden RI Ir. H. Joko Widodo menggunakan filosofi kapitan perahu, sesuai pepatah bugis “Pura Babbara Sompehku, Pura Tangkisi Galikku” artinya layarku sudah berkembang, kemudiku sudah terpasang, kita bersama menuju Indonesia Maju. Pepatah ini ingin menggeser cara pandang dari sangat musyawarah menuju semangat kapitan perahu. (M.antaranews.com, 22 Oktober 2019)
Agar kita tidak penasaran tentang filosofis “kapitan perahu”, mari kita artikan sebagai berikut :
Pertama : Kapitan perahu, beararti pemimpin perahu tidak mungkin didrop begitu saja dari atas, tetapi harus tumbuh dari bawah dan mencapai pengetahuan dan kematangan tertentu yang dipersyaratkan.
Kedua : Kapitan perahu, berarti seorang pemimpin diharuskan proses pengambilan keputusan yang cepat, dan kemampuan mengoreksi keputusan dalam waktu yang singkat. Keragu-raguan dalam mengambil keputusan kelambatan atau keengganan untuk mengoreksi keputusan yang salah akan berakibat fatal bagi keselamatan perahunya dan hidup para penumpang perahu.
Ketiga : Kapitan perahu, berarti seorang pemimpin akan menjadi orang terakhir yang meninggalkan perahu ketika perahu akan karam, setelah penumpang mendapat kesempatan menyelamatkan diri atau mendapat pertolongan yang semestinya.
Ignas Kleden, balitribun.co.id, 2 Agustus 2018)
Jadi benarlah apa yang dijelaskan Parapat Gultom, Ph.D seorang dosen Pascasarjana pada Universitas Sumatera Utara kepada penulis, yang menjelaskan bahwa para ilmuan memberi definisi tentang filsafat akan sangat berbeda, karena menyangkut ruang, waktu dan dalam konteks apa mereka berfikir. Parapat Gultom, Ph.D menegaskan bahwa inti filsafat itu :
- Berawal dari sesuatu pemahaman apa yang menjadi konteks bahasan.
- Dari konteks akademi maka filsafat adalah soko guru dari ilmu pengetahuan.
Contohnya, jika dalam filsafat dibahas tentang kesejahteraan sosial, maka pertanyaannya adalah apa sejahtera itu dan apa sosial itu. Atau samakah pandangan kesejahteraan sosial dari kalangan birokrasi?. Jawabannya, tentu akan beda pengertian kesejahteraan sosial dari segi ekonomi, dari segi Kesehatan, dari segi pendidikan karena sangat luas. Yang pasti berbicara filsafat dalam kaitan kesejahteraan sosial, harus di bahas juga apa kriteria dari kesejahteraan sosial, sehingga berdasarkan kriteria ini akan melahirkan rohnya sejahtera. (Diskusi pada tanggal 28 Februari 2021, di Doctor Coffe Medan).
Disamping itu adalah para pelaku pelaksana sosial itu. Misalnya, dari segi objek siapa yang akan dapat pelayanan sosial, dari segi pelaku yang membahas tentang kesejahteraan, pelayan dari segi kebijakan, dari segi aturan-aturan yang diperkenalkan untuk itu. Filsafat adalah sesuatu pandangan yang sifatnya komprehensif dan memiliki tujuan.
- Merawat Pertiwi
Dalam kaitan kesejahteraan social mari kita renungkan filosofi presiden RI ke lima Megawati Soekarno Putri yang menuliskan dalam sebuah buku “merawat pertiwi, jalan Megawati Soekarno Putri melestarikan alam”. Filosofi ini dapat ditinjau dari berbagai pemikiran atau pandangan yaitu jika ditinjau dari aspek lingkungan maka kita anak bangsa dituntut untuk menjaga lingkungan alam maupun lingkungan tempat tinggal kita masing-masing. contohnya jika kita melakukan penebangan pohon sesuka hati disuatu daerah hutan yang menimbulkan sumber air bagi masyarakat, maka lambat laun akan terjadi ketandusan, dan pada saat musim penghujan dapat menimbulkan kelongsoran. Banyak kasus tanah longsor akibat sesuka hati merambah hutan. Dan yang menjadi korban adalah masyarakat yang berpenduduk dan bertempat tinggal di daerah itu juga. Jika ini terjadi berdampak terhadap gangguan kesejahteraan social masyarakat.
Contoh kasus, bahwa tanggal 22 Nopember 2020 terjadi banjir dan longsor di 10 desa pada Kecamatan Muko Muko Kabupaten Bungo di Provinsi Jambi. Dampak dari banjir dan longsor mengakibatkan 1005 orang dari 335 kepala keluarga mengungsi karna masyarakat tidak bias bertahan di rumah dengan ketinggian air 1/5 meter merendam rumah masyarakat. (Berita satu, 23 Nopember 2020 Radesman Saragih).
Jauh sebelumnya Sudirman Sekretaris Daerah Provinsi Jambi menjelaskan bahwa bencana banjir dan longsor di beberapa daerah di tanah air termasuk Provinsi Jambi di akibatkan oleh kelalaian atau tindakan yang tidak merawat alam. Kerusakan hutan di hulu sungai yang merupaka daerah tangkapan air membuat banjir mudah terjadi. Kerusakan hutan juga membuat bencana longsor sehingga menanam pohon diharapkan bias membangun kesadaran masyarakat dalam memelihara hutan dan lahan, penyelamatan sumber daya air, peningkatan produktivitas lahan dan perekonomian masyarakat serta antisivasi perubahan iklim dan pencegahan bencana Hidro Meteorologi (Berita satu, 11 Januari 2020 Radesman Saragih)
Merawat alam tentu tidak sebatas merawat hutan melainkan ditempat tinggal kita masing-masing juga menjadi perhatian. Hal ini dapat terlihat contoh kasus diperkotaan dan kota-kota lainnya, banjir yang menerpa jalanan dan lingkungan masyarakat tidak lepas dari kurangnya kepedulian masyarakat terhadap sampah. Sejumalah seenaknya membuang sampah disembarang tempat bahakan diselokan sehingga setiap gorong-gorong (parit) menjadi tempat tumpukan sampah dan ketika terjadi hujan menimbulkan sumabatan yang berakibat terjadinya banjir. Inilah arti dari merawat pertiwi dalam aspek lingkungan, tinggal dikembalikan kepada masyarakat masing-masing karna sudah diberi akal dan budi untuk menerapkannya.
Demikian juga dari aspek politik, jika kita sebagai anak bangsa selalu berbahasa yang bersipat adu domba baik dalam pertemuan tatap muka atau melalui media social dengan melakukan kritikan kepada pemerintah tanpa memahami apa yang dikerjakan pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat, maka juga akan menimbulkan kegaduhan yang berdampak kepada gangguan social kemasyarakatan.
Dari aspek pemerintahan hendaknya para pemimpin pemerintahan memahami visi dan misinya sebagai kepala pemerintahan, karna visi dan misi adalah janji politik yang akan dilaksanakan selama kepemimpinannya melalui rencana pembangunan jangka menengah yang dijabarkan pelaksanaan tersebut setiap tahunnya untuk kesejahteraan masyarakatnya. Artinya merawat pertiwi adalah merawat lingkungan dimana kita bertempat tinggal, merawat masyarakat agar masyarakat hidup tertib dan tentram mengisi pembangunan, merawat hasil-hasil pembangunan, merawat nilai-nilai budaya sebagai peningglan sejarah, dan melaksanakan ajaran agama sesuai kepercayaan kita masing-masing dan menerapkan falsafah bangsa yaitu pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Merawat pertiwi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata merawat artinya memelihara, menjaga, membela. Pertiwi (sansekerta prthui, artinya dari dalam agama Hindu dan juga ibu bumi atau dalam bahasa Indonesia ibu pertiwi) yang merupakan personifikasi nasional Indonesia adalah sebuah perwujudan tanah air Indonesia. Dengan demikian merawat pertiwi dapat juga diartikan dengan menjaga, memelihara dan membela tanah air Indonesia.
Sejalan dengan peluncuran buku “Merawat Pertiwi” yang dikemukakan Presiden RI ke 5 Megawati Soekarnoputri tentang kebudayaan hanuning buwana. Maknanya seluruh manusia harus menyatu dengan alam raya, apalagi Indonesiamerupakan negara yang dikaruniai keindahan yang luar biasa serta keanekaragaman flora dan fauna. Selain itu merawat pertiwi ditinjau dari aspek politik , Megawati Soekarnoputri mengajarkan berpolitik kepada kader-kader partai PDI Perjuangan merawat kehidupan, dan berpolitik itu membangun peradaban. (Yovie Wicaksono, 24 Maret 2021, Superadio.id)
- Marsipature Huta Na Be
Filosofi Merawat Pertiwi yang dikembangkan oleh Megawati Soekarnoputri hampir bersamaan pemikirannya denga napa yang dikembangkan Gubernur Sumatera Utara di Tahun 1988 – 1998 yakni alm. Raja Inal Siregar dengan filosofi “Marsipature Hutanabe”. Masa itu alm. Raja Inal Siregar dalam pemikirannya untuk mempercepat pembangunan disetiap daerah Sumatera Utara diperlukan perhatian dan tanggung jawab putra-putra daerah yang sukses di perantauan untuk ikut membangun kampung halamannya.
Pemikiran “marsipature huta na be” (membangun kampung masing-masing) dikumandangkan oleh Rajainal Siregar masa kepemimpinannya sebagai Gubernur Suamtera Utara sejak 13 Juni 1988. Tercetusnya pemikiran marsipatera huta na be merupakan bahasa suku Batak dari Tapanuli Selatan dengan arti membngun kampong halaman masing-masing yang mengandung harapan bahwa setiap orang yang berasal dari kampong dimana ia dilahirkan dan dibesarkan memeliki kesadaran yang tinggi untuk ikut berkontribusi membangun kampung halamannya termasuk mereka-mereka sebagai perantau yang sukses.
Gerakan ini meski tidak tertulis menjadi sejarah bagai para perantau putra dan putri daerah yang berhasil untuk pulang kekampung dan ikut membangun kampong halamannya bersama masyarakat setempat dan masih hidup dan bekerja dikampungnya.
Marsipature huta na be walau dicetuskan seorang Gubernur Sumatera Utara sebagai putra daerah Tapanuli Selatan bukan semata-mata untuk kepentingan masyakat Tapanuli Selatan. Tetapi suatu filosofi dari kearifan local untuk diterapkan oleh seluruh putra dan putri asal Sumatera Utara yang sukses di perantauan, yang pada masa itu Kabupaten dan Kota terbagi dalam 17 Kabupaten dan Kota dan belum dimekarkan seperti saat ini menjadi 33 Kabupaten dan Kota.
Filosopi marsipature huta na be tidak sebatas membangun kampong atau desa dari aspek inprastruktur semata-mata, melainkan dari aspek sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan pertanian, keparawisataan maupun sara penerangan dan lain-lain, karan bertujuan untuk percepatan pemrataan pembangunan antara kota dan desa dalam rangka peningkatan kesejahteraan social masyarakat di kampong halaman (desa) masing-masing.
Alm. Raja Inal Siregar dalam suatu acara pembukaan lokakarya keswadayaan masyarakat dalam keterpaduan pembangunan di Berastagi tahun 1990 mengatakan istilah gerakan pembangunan desa marsipature hutanabe adalah suatu rancangan pembangunan desa yang mempunyai dampak yang langsung dirasakan pada dua sisi secara simultan, yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat desa, yang berarti naiknya tingkat kesejahteraan sebagian rakyat Indonesia. Sisi lain adalah membangun potensi yang selama ini masih terpendam di desa tersebut. Pembangunan potensi tersebut selain memberi nilai tambah pada asset nasional, sekaligus juga mengikat pemuda agar tidak merantau ke kota yang akan menimbulkan urbanisasi beserta sejumlah dampak negative lainnya. (Sutan Iman Uluan, Sumut.wordpress.com) diantara hasil kerja marsipature hutanabe secara fisik dapat terlihat berdirinya SMA Plus Sipirok,, SMA N 2 Balige, SMA Negeri 1 Matauli Pandan, dan lain-lain.
Menurut Dr. Susilawati, M.Han di Jakarta 30 Juli 2020 yang lalu bahwa “Marsipature Hunabe” adalah semboyan yang berasal dari bahasa bahatak Tapanuli Selatan yang memiliki arti membangun kampung masing-masing. Semboyan ini menjadi aturan tidak tertulis tetapi menjadi perinsip kuat yang dipegang oleh warga kampung itu sendiri. Jika ingin membangun kampung halaman agar kehidupan masyarakat menjadi lebih tertata, berkualitas, modern dan maju, tentu membutuhkan bekal pengalaman dan ilmu yang mumpuni untuk dapat membentuk karakter dari setiap putra daerah yang ingin membangun kampung halamannya (Kompasiana, 30 Juli 2020).
- Rakyat pintar dan punya masa depan
Selain dari Raja Inal Siregar dalam filosofinya marsipature hutana be semasa menjadi gubernur Sumatera Utara, masih ada 2 Gubernur Sumut yang memberikan kritisnya (berfilosofi) yaitu Rudolf Pardede dan Syamsul Arifin. Rudolf Pardede Masa itu mengembangkan filosofi “Rakyat Pintar” masa kepemimpinannnya sebagai Gubernur Sumut 2006-2008.
Sedangkan Samsul Arifin periode 2008 sampai dengan 2010 mengembangkan filosofi “rakyat tidak bodoh dan punya masa depan”. Sejak itu sebagai unsur staf di jajaran pemerintah Provinsi Sumatera Utara tentu akan berpikir untuk mencari pemahaman dan kebenaran dalam rangka mengambil kebijakan untuk menjawab arti dari filosofi kedua gubernur dimaksud.
Dalam kaitan Rakyat Pintar, maka makna “pintar” artinya adalah mengetahui, pandai, memiliki ilmu, dan jika pintar selalu dikaitkan dengan prestasi orang pintar atau pintar ilmu, maka orang pintar menerima apapun dengan sempurna sehingga memiliki pengetahuan yang sangat luas. Pengetahuan tersebutlah yang menjadi senjata utamanya orang pintar, dan orang pintar dikenal juga akan disiplin dan teratur sehingga ia akan selalu mengerjakan setiap hal yang diperintahkan.
Bahasa pintar sering disamakan dengan cerdas, padahal pengertian ini ada perbedaannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2001 bahwa Salah satu arti kata cerdas adalah tajam pikiran. Orang cerdas tidak terpaku pada teori, namun lebih kepada pemahaman konsep. Bagi orang cerdas, senjata utamanya adalah logika, dan pengetahuan yang ia dapat dari teori hanyalah sebagai pendukung. Tidak heran jika orang cerdas tidak semata menguasai satu materi yang itu-itu saja, dan biasanya orang cerdas mampu menguasai bidang tertentu seperti musik, olahraga, seni dan lainnya.
Berbeda dengan orang pintar, orang pintar biasanya disiplin dan teratur. Sedangkan orang cerdas lebih mengendalikan pikiran kritis dan pengalaman (irjen kemendikbud 09 April 2019)
Kata pintar menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yakni “mahir” (melakukan atau mengerjakan sesuatu), pandai, cakap, cerdik dan banyak akal. Pintar adalah sebuah homonym, karena artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama, tetapi maknanya berbeda. Pintar memiliki arti dalam kelas objektiv atau kata sifat, sehingga pintar dapat mengubah kata benda atau kata ganti dan biasanya dengan menjelaskan atau membuatnya lebih spesifik (lektur.id)
Bagaimana pula dengan “rakyat tidak bodoh dan punya masa depan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata bodoh adalah tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu atau tidak dapat mengerjakan dan sebagainya. Selain dari pada itu “kata bodoh” tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman) dan terserah (kepadamu).
Menyikapi fenomena bodoh atau kebodohan meliputi 2 (dua) hal yaitu : kebodohan intelektual yang disebabkan oleh lemahnya pola fikir. Contohnya orang yang membuang sampah sembarangan, dia tidak memikirkan bahwa sampah tersebut adalah sumber penyakit dan jika dibuang sembarangan menyumbat selokan sehingga mendatangkan banjir. Contoh kebodohan emosional seperti gerombolan supporter sepak bola yang tiba-tiba menjadi anarkis dan seringkali menginginkan kekacauan, padahal ketika bermasyarakat mereka cukup santun antara satu dengan yang lainnya (Fathur kaho, 23 April 2016).
Bagaimana dengan kata “masa depan” merupakan inspirasi bagi setiap orang yang sedang menghadapi kegagalan dalam hidup. Dengan menyimak kata-kata “masa depan” juga bisa menjadi batu loncatan untuk kembali bisa bangkit dari kegagalan dan kekecewaan. Semangat dari dalam diri pun kembali tumbuh, untuk melakukan berbagai rencana demi masa depan yang lebih cerah dan bahagia. Dengan demikian kata-kata masa depan merupakan motivasi bagi seseorang. Kata-kata ini membatu seseorang untuk melewati masa-masa sulit dalam hidup (Merdeka.com, Ayu, 12 Agustus 2020.
Kedua pandangan Gubernur Sumatera Utara pada masanya merupakan pemikiran kritis dari apa yang dilihat dari perjalanan waktu di daerah, baik dari aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam yang tersedia di Sumatera Utara, namun jika ditinjau dari aspek kesejahteraan sosial pada masa itu angka kemiskinan masih turun dan naik, walau laju pembangunan yang terus berjalan.
Artinya disiplin diri dalam keteraturan hidup dan bekerja untuk menyongsong masa depan yang lebih baik belum terbangun secara merata, apakah disiplin belajar, membaca, berdiskusi agar sumber daya alam yang tersedia dapat di olah untuk kesejahteraan keluarga atau masyarakat.
Disiplin dan keteraturan ini tidak sebatas kepada masyarakat di desa, tetapi juga dikalangan aparatur Pemerintah masih belum merata. Cara berfikir dikalangan aparatur pemerintah untuk melahirkan konsep (inopasi) memperbaiki masa depan rakyat untuk percepatan pemerataan pembangunan bidang kesejahteraan sosial menjadi sebatas wacana.
Masa kepemimpinan Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede, sebenarnya disiplin dan keteraturan itu kerap diterapkan, khususnya dalam rapat dan pertemuan yang secara berkala dengan program pembangunan. Namun ia selalu mendapat kenyataan antara aparatur dan masyarakat tidak benar-benar memanfaatkan waktu sesuai rencana, artinya disiplin dan keteraturan hidup belum menjadi etika sosial.
Inilah yang melatar belakangi pemikiran kritisnya dengan mengumandangkan agar “rakyat pintar”, artinya rakyat di tuntut untuk dapat hidup disiplin dan teratur dalam bekerja sesuai profesi pekerjaanya, demikian juga bagi aparatur dalam melayani masyarakat untuk mempercepat laju pembangunan. Bagi penulis dari pemahaman etika sosial kedua pemikiran kritis mantan Gubernur Sumatera Utara tidak terlepas dari upaya membangun sumber daya manusia yang merata antara perkotaan dan pedesaan, khususnya sumber daya manusia bagi masyarakat yang berada di pedesaan yang jauh dari kesejahteraan sosial. Mengapa tidak …… ? salah satu dari akar kemiskinan, ketertinggalan, ketelantaran berhubungan dengan sumber daya manusia yang diantaranya disebabkan oleh ketidak disiplinan, ketaraturan, kemauan berfikir dan inspirasi. Untuk menggunakan akal dan budi sebagai anugerah Tuhan.
Upaya kedua mantan Gubernur Sumut ini dalam mempersiapkan masyarakat sumut “masyarakat pintar dan punya masa depan” kebijakannya adalaha mendekatkan buku-buku sebagai bahan bacaan di masyarakat dengan mendirikan perpustakaan desa di setiap desa di Sumatera Utara, disamping didirikan perpustakaan di rumah-rumah sakit, dimasjid, di gereja dan tempat ibadah lainnya.
Untuk daerah-daerah padat masyarakat (kerumunan) anak dan keluarganya maka buku bacaan di dekatkan kepada masyarakat melalui unit perpustakaan keliling. Artinya mobil perpustakaan keliling yang diserahkan pemerintah provinsi Sumut kepada setiap pemerintah daerah kabupaten dan kota di harapkan dapat mengunjungi masyarakat agar budaya membaca atau budaya literasi menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Sumatera Utara.
Para ilmuan pun di dorong untuk melakukan gerakan menulis agar kearifan lokal seperti sejarah peradapan masyarakat sumut, nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang dimasyarakat sampai peninggalan sejarah dapat dituliskan sehingga “kedisiplinan, keteraturan, kemampuan berfikir dan inspirasi” yang menjadi akal budi menjadi kebiasaan untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Demikian juga dengan lembaga pendidikan formal dan non formal, tenaga pendidik dan kependidikan menjadi perhatian, sehingga tunjangan kesejahteraan para guru non PNS mendapat perhatian khusus untuk kesejahteraannya.
Atas pemikiran Rudolf Pardede, akhirnya seorang penulis Janerson Girsang menuliskan pemikiran “Rudof Pardede” dalam sebuah buku “Berkarya ditengah gelombang” sedang untuk Syamsul Arifin buah pikiran yang diungkapkannya di tulis oleh Dr. H. Muhammad Sofyan, MA menjadi sebuah buku yang berjudul “Petuah Dato’ Seri” H. Syamsul Arifin, SE.
- Melindungi Masyarakat dari Covid 19
Beda dengan Ir. H. Zahir, M.AP Bupati Batu Bara, ketika merebak Corona Virus Desease 2019 (Covid-19), ia menegaskan dalam rapat Forum Komunikasi Pmpinan Daerah pertengahan Maret 2020, dengan pemikiran “Melindungi Masyarakat Batu Bara” dari Covid-19. Melindungi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah menyelamatkan (memberi pertolongan) supaya terhindar dari marabahaya. Masa itu marabahaya yang terjadi di dunia, termasuk Indonesia adalah berkembangnya corona virus desease 2019 (Covid-19) yakni sebauh wabah virus yang sangat mematikan.
Pemikiran yang menjadi filosofi Zahir tentang melindungi masyarakat Batu Bara tidak terlepas dari suatu peristiwa, yaitu berkembangnya corona virus desease 2019 (Covid 19) yang berdampak terhadap kesehatan social dan ekonomi sehingga berbagai produksi dari sebuah perusahaan atau keparawisataan atau sejumlah perusahaan menutup aktivitasnya yang mengakibatkan sejumlah tenaga kerja kehilangan mata pencaharian. Demikian juga dengan terjadinya lock down negara tetangga Malaysia di awal April 2020, sejumlah tenaga kerja asal Batu Bara yang bekerja di Malaysia tidak mampu bertahan hidup dan untuk pulang ke negeri asal Batu Bara.
Untuk melindungi masyarakat dari terinveksi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19), Zahir mengambil kebijakan memperbaiki sarana Kesehatan dan lokasi rawat inap di seputar Rumah Sakit Umum Daerah, termasuk pemakaman umum. Sejumlah surat edaran berupa penutupan proses belajar mengajar di sekolah juga dikeluarkan yang selanjutnya seklah sitem during dari rumah, sekaligus bekerjasama dengan unsur Forkopimda Kabupaten, Kecamatan dan Desa melakukan penyemprotan disinfektan sekaligus melaksanakan kampanye pemakaian masker kepada masyarakat dan membangun desa-desa tangguh.
Apa yang menjadi pemikirannya melindungi masyarakat Batu Bara menjadi kenyataan, sejumlah tenaga kerja asal Malaysia pulang ke daerahnya dengan menggunakan jalur laut, baik resmi ataupun tidak resmi dan keseluruhan tenaga kerja di karantina di ruang rawat inap dalam rangka perlindungan masyarakat.
Pemikiran Bupati Batubara Ir. H. Zahir, M.Ap tentang melindungi masyarakat tidak sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang kepala daerah, tetapi menjadi tanggung jawab seluruh unsur pimpinan baik di pemerintahan di organisasi social, organisasi politik, keagamaan, dan setiap pimpinan masyarakat lainnya.
Artinya setiap warga masyarakat baik secara individu atau kelompok wajibuntuk diri terinfeksi dari corona virus desease 2019 (Covid 19) agar masing-masing individu, keluarga, tetangga dan seluruh masyarakat terhindar dari virus yang mematikan.
Dengan pemikirannya melindungi masyarakat dari Covid 19 secara etika social bahawa Ir. H. Zahir, M.Ap. telah menunjukkan perhatian yang luar biasa bagi keselamatan masyarakatnya karna wabah virus corona bukan milik satu Negara, Bangsa, atau Daerah melainakan sebagai kasus global yang tidak bias ditangani suatu Negara, satu bangsa atau satu daerah melainkan dibutuhkan suatu sinergi yang saling membantu untuk bekerja saman melawan virus corona agar terhindar dari kematian.
Secara komprehensif bahwa langkah terpenting yang bisa dilakukan tidak semata melindungi diri dari masker atau alat kesehatan sejenisnya tetapi juga bagaimana menunjukan etika social yang tepat kepada sesama manusia ditengah ancaman virus corona (Aditya Nurullahi, Detik News 03 Maret 2020)
Jika pemikiran melindungi masyarakat dari covid 19 diterapkan secara hati nurani dan dilaksanakan serentak di Indonesia sehingga masyarakat benar-benar menyadari bahwa wabah yang dihadapi adalah virus yang tidak terlihat, maka system kerja pemerintah yang sudah diterapkan dapat diikuti masyarakt dengan baik seperti protokoler kesehatan.
Namun apabila kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan tidak diindahkan oleh masyarakt, bahkan masig ada apndangan sekelompok masyarakat yang menimbulkan propaganda dan berita-berita hoax maka kasus Covid 19 akan sulit diatasi dan yang merugi adalah seluruh kita bangsa Indonesia baik dari aspek kesahatan social dan ekonomi.